Cerita Pendek

CERPEN: Pulau Banda dan Diana

Sepoci teh hangat, ikan kuah pala, nasi kuning begadang, kuil cina remang-remang, ada Diana disana. Cekatan ia menuruti permintaan pembeli yang tak sabar ingin pergi sebab KM. Nggapulu telah menderu dua kali.

Satu jam menyusuri Banda, cukuplah untuk menemukan betapa masa lalu, termasuk yang baru saja lewat, beroleh tempat penting. Benteng Belgica, rumah pengasingan Hatta, deretan kuil Cina, bahkan anak tangga, beramai-ramai mengabadikannya dengan saksama. Seperti ada kerja bersama untuk merawat ingatan.

Saya bersama seorang kawan ketika itu, berjalan menyusuri jalanan sempit Neira dengan rumah berjejeran di sekitar pelabuhan, hingga mendapati Diana diantara deretan lapak jualan, dan menjadi bagian paling indah disana.

Diana gadis, delapan belas tahun barangkali. Punya raut manis, hidung mancung, sepasang mata bola, alis tebal melengkung, dan lesung pipi paling memikat di sebelah kiri. Sepintas terbaca kepribadiannya tenang. Tak banyak polah, dan kalau bicara seperlunya saja.

Saya berdiri persis didepan Diana, kemudian bergeser agak kekiri, berharap bisa memindai cantiknya dari sudut yang berbeda. Gayung pun bersambut, dilihat dari sudut manapun Diana tetaplah dara yang manis tak ada tandingan.

Ia biarkan rambutnya tergerai jatuh sekenanya dibahu. Berhias seutas bandana merah jambu yang tersemat di hitam rambutnya yang ranum, betapa kecantikannya membuat degup jantungku berdebar-debar tak rata.

“Mau beli nasi berapa bungkus, kaka?” suaranya menyergapku tiba-tiba. Aihh, merdu nian. Lebih merdu dari debur ombak di pulau Ay barangkali.

“Na…. nasi kuning tiga bungkus” Aku gugup. Suaraku kurasai tercekat ditenggorokan. Jawabku tiga bungkus tapi jariku justru membentuk huruf V.

“Tiga atau dua?”

“Tiga. Tiga bungkus. Sambalnya yang banyak”

Maka dengan sekejap mata, tiga bungkus nasi kuning begadang dengan sambal terpisah telah siap di sebuah kantong plastik transparan. Aku mengambilnya dengan sigap, membayar dengan uang pecahan Rp. 50.000 dan balik kanan dengan segera. Tak kuasa beradu pandang lebih lama dengan bolamata Diana yang bening serupa lautan pulau Run.

“Kaka uang kembaliannya belum diambil.” kata Diana mengingatkan

Aku balik arah seketika, meraih tangan Diana yang halus serupa pati sagu dan sejenak kurasai aliran darahku mengalir lebih cepat dari biasanya.

* * *

Sejatinya Diana adalah sisa-sisa keturunan dari penduduk asli Banda yang menjadi korban genosida Jan Pieterzon Coen pada 1621 silam. Armada berkuatan 13 kapal itu secara sadis merubah Banda menjadi lautan darah dan membikin Diana tak tahu rambut ikal bergelombang dan kulitnya yang cokelat manis eksotis itu diwariskan dari buyutnya yang mana.

Yang dia tahu sejak kecil ayahnya yang keriput itu bernama La Ode Sugi. Sedangkan ibunya yang cantik jelita hanya dikenalinya lewat sebuah pigura berisi foto kusam hitam-putih pada dinding rapuh gaba-gaba[1]. Sepanjang hidupnya yang delapan belas tahun ini, tak ada sekalipun Diana diceriitai oleh siapapun tentang kakek-neneknya apalagi tentang buyut-moyangnya. Penggalan cerita itu hilang entah.

“Jadi dia itu piatu sejak lahir, Om?” tanyaku penasaran.

“Kira-kira begitu” Jawab si pewarung kopi itu sekadarnya. Mengambil nampan kayu hendak menyeduh gelas kopi yang lain untuk para pelanggan.

“Om masih punya hubungan keluarga dengan Diana?” tanyaku spontan

“Kita di Banda semua orang bersaudara, Dik”

“Maksudku bukan begitu, Om”

“Lantas?”

“Soalnya Om tahu banyak tentang Diana makanya aku pikir Om ini termasuk saudara dekatnya”

“Diana itu anak kesayangan semua orang di Neira ini. Makanya hampir semua orang tahu seluk-beluknya”

Aku manggut-manggut takzim.

“Kamu orang baru disini?”

“Iya. Aku asli Ambon”

“Suka kau pada Diana?”

Krikk. Gelas kopi yang tadinya hampir saja menyentuh bibirku seketika tertahan mengapung di udara.

“Diana itu anak saya satu satunya” Katanya tenang. Sorot matanya sepenuhnya ditumpahkan padaku. Kurasai pandanganku kabur. Rasa malu menyergapku tanpa ampun.

“Kamu mau tahu kenapa Dianaku menjadi kesayangan semua orang disini?”

Aku mengangguk tak yakin. Jujur saja aku gugup

“Besok pagi datang lagi kesini”

Dan sungguh malam ini terasa begitu panjang.

* * *

Kawanan burung Walor terbang rendah membelah langit Banda. Begitu masuk di tepi hutan, kawanan itu pecah kongsi, bertebaran ke segala penjuru mata angin berebutan tempat dikuncup pohon pala hendak memakan buahnya yang segar merekah. Kedai kopi sederhana, tempat aku dijanjikan oleh ayahnya Diana untuk menemuinya pagi ini telah buka dan nampak beberapa orang tengah duduk disana.

Disalah satu sudut kedai itu pandangku jatuh pada sosok paling anggun di seantero Neira. Diana telah berdiri disana, bersandar pada salah satu tiang kedai milik si Ayah.  Mengenakan baju lengan panjang hijau muda, rambut kuncir kuda yang diikatnya sederhana, dengan roman segar tanpa sentuhan bedak perias muka. Kecantikannya kontan mewakili keeksotisan gadis pesisir kepulauan Maluku. Utuh tanpa kurang satu apapun.

Kuperhatikan seluruh resam tubuhnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Dan segera kudapati alasan mengapa Diana, si cantik penjajak nasi kuning begadang, si burung walor betina yang paling disenangi pejantan seantero Naira, mutiara paling berkilau di taman karang Pulau Ay, menjadi anak kesayangan semua orang sebagaimana kata ayahnya tadi malam.

Kini suaranya si ayah kembali berbisik di telingaku. Bicara dengan suara berat terbata-bata:

“Anakku Diana, lumpuh kedua kakinya”

“Masih kah kau suka padanya??”

* * *

Semilir angin timur menjalar lembut membelai tengkuk ranum Diana, membikin bulu roma si dara bergidik seketika. Maka semakin dirapatkan dekapannya padaku lebih dekat. Lebih mesra.

“Berjanjilah untuk tidak pergi setelah kau memberi rasa nyaman, Arsyad”

“Perjalananku untuk sampai disini terjal dan berliku, Dian. Pergi bukanlah cara yang tepat untuk mengunci kisah ini”

“Aku cemas gelagatmu akan sama seperti mereka”

“Teruslah ragu seperti itu. Dengan begitu, kau akan lihat seberapa kuat usahaku meyakinkanmu”

Diana menatapku lama. Lama sekali.

“Kau sungguh mencintaiku?”

“Melebihi cinta Bung Hatta pada lautan Banda, Dian”

“Jangan membuat wajahku memerah”

“Kau bahkan lebih semerbak dari bunga pala”

“Aku tak akan termakan rayuanmu”

“Kau justru sedang menikmatinya”

“Aku kebal dengan gombalan receh macam begitu”

“Kalau begitu kendorkan dekapanmu, nona”

Dipeluknya tubuhku lebih erat. Lebih mesra

 

_____________________
Ambon, 21 Maret 2019
Almin Patta
Pegiat di Komunitas Pecinta Seni (KOPI)
Tinggal di Desa Wakal, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah

 

[1] Gaba-baba: Pelepah dahan sagu

Jika kawan-kawan ingin mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?